Oleh : Yedija Manullang
Indonesia pada tahun 2019 mencatat sejarah dengan menyelenggarakan pemilihan umum (Pemilu) dengan menghadirkan (5) lima pemilihan serentak yang nantinya akan menghasilkan presiden dan wakil presiden, 575 anggota DPR-RI, 136 DPD RI, 19.817 DPRD Provinsi dan Kota/Kabupaten. Seharusnya pembahasan ini menjadi menarik dan relevan untuk dibahas dan dimengerti oleh semua kalangan, khusunya pemuda atau yang lebih santer dikenal dengan kaum milenial.
Namun yang terjadi saat ini adalah bahwa dominan dimata pemuda politik menjadi hal yang tabu dan kotor dengan sederat kasus yang ada didalamnya sehingga menyebabkan banyak pemuda ketika berbicara politik menjadi apatis dan bias.
Menurut Alvara Research Center bahwa Kaum milenial mayoritas apatis terhadap politik dengan persentase hanya 20 % sementara 70 % lainnya lebih menyukai pemberitaan liestyle, musik, IT, maupun film.
Ini tentu akan menjadi sebuah persoalan mengingat menjelang perhelatan akbar politik nasional, Indonesia akan memiliki pemilih pemula baru sekitar lima (5) juta orang dan ada sekitar 40 % pemilih milenial dari total keseluruhan Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Dengan daftar pemilih tetap mencapai 40% posisi kaum milenial akan sangat diperhitungkan namun dengan rendahnya tingkat partisipasif kaum milenial di sektor politik dikawatirkan akan menciderai martabat demokrasi Indonesia dengan adanya golput, politik transaksional, tidak kritis dan selektif dalam menentukan pilihan, pelanggaran, kecurangan dan ketakukan dengan adanya hoaks dan ujaran kebencian.
Hal ini akan menjadi preseden buruk untuk demokrasi kita ditambah lagi kita akan memasuki bonus demografi dimana kaum milenial inilah yang nantinya menjadi pemimpin, pengelolah sistem, pengatur dan pemangku kebijakan jika hal ini terus terjadi dengan masih apatisnya kaum milenial akan politik.
Sejatinya politik adalah etika untuk melayani melalui pendistribusian kekuasaan sesuai dengan kemampuan dan bagian masing-masing. Bukan politiknya yang kotor namun politisinya yang melakukan sejumlah pelanggaran yang menciderai konstitusi dan amanat rakyat itu sendiri.
Momentum 2019 dan pesta demokrasi ini, kita harus perkuat dengan budaya milenial yang produktif dan kritis. Khususnya di bonapasogit kita tercinta kabupaten Humbang Hasundutan. Pada tahun 2018 data Komisi Pemiliha Umum (KPU) pada kontestasi pemilihan gubernur menunjukkan ada sekitar 124.149 jiwa pemilih yang diantaranya pemilih laki laki berjumlah 61.074 jiwa dan pemilih perempuan ada sebanyak 63.075 jiwa ditambah lagi dengan pemilih difabel sebanyak 127 jiwa. Merujuk dari pemilihan gubernur tingkat partisipasif masyrakat humbang hasundutan masih tergolong rendah dengan dalam menggunakan hak pilihnya terlihat dengan jumlah pemilih yang mengunakan haknya sebanyak 80.206 dan jika dipersentasekan hanya sekitar 64 % yang artinya bahwa masih ada sekitar 45.110 jiwa yang tidak menggunakan hak pilihnya.
Kita berharap akan lebih banyak masyarakat sadar tentang pentingnya memilih khusunya kaum millenial yang ada di humbang hasundutan dengan memandang Tahun politik dan demokrasi bak pesta yang harus kita rayakan bersama-sama dan mendatangkan kegembiraan untuk kita semua, terlebih rakyat yang akan memilih dan meiliki pemimpin-pemimpin baru.
Salah satu hadiah terbaik dalam kehidupan adalah perjumpaan dan jangan sampai hadiah ini menjadi celaka bagi kita dengan salah memilih para pemimpin yang akhirnya berjumpa dan mewakili aspirasi dan kepentingan kita nantinya. Jangan sampai kita mengorbakan martabat demokrasi kita dan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat selama lima tahun kedepan ditangan orang yang salah hanya karena kita salah memilih. Masyarakat humbang hasundutan khususnya kaum milenial harus benar-benar selektif dalam memilih yaitu dengan memilih para calon yang mengedepankan gagasan, ide dan solusi untuk kemajuan humbang hasundutan sendiri salah satunya dengan melihat track record yang baik dan jelas dan tidak pernah terjerat korupsi dan pelanggaran HAM.
Untuk melihat profil para calon tentu bukan hal yang sulit bagi kaum milenial untuk menggali seputar informasi tentang calon dengan kemajuan informasi dan komunikasi terutama dalam media sosial sebelum bertemu, bertatap muka dan mendengarkan orasinya.
Media sosial juga menurut saya bisa menjadi indikator dalam memilih para calon dengan transparansi kegiatan dan kehidupan para calon dan menjadi bukti bahwa si calon juga mengikuti dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan informasi. Kaum milenian juga harus berani menolak politik transaksional dengan tidak menerima uang ataupun dalam bentuk lainnya dengan dalih supaya dipilih karena itu sudah menjadi tindak kecurangan. Tentu bukan hal yang muda mengingat momentum politik sudah biasa hal seperti itu atau bahkan sudah menjadi tradisi. Namun itu harus segera diputuskan dan diakhiri ditangan kaum milenial karena hal tersebut akan sangat mengkerdilkan harga diri kita dan membuat sistem birokasi kita semakin murah.
Misalnya dalam parlemen hanya dengan Rp. 100. 000 persuara, 100.000 suara hanya butuh 10 M sudah bisa mengatur UU di parlemen atau dengan 20.000 suara dengan dana sekitar 2 M sudah bisa mengatur perda di provinsi dan 3.000 suara dengan dana sekitar 300 juta sudah bisa mengatur kebijakan di kabupaten/kota. Memang kalau kita jumlahkan kita mendapatkan uang yang lumayan dengan cara dan waktu yang praktis.
Namun kita tidak sadar itu akan mematikan dan menyingkirkan para pejuang-pejuang politik yang murni yang lahir dari hati nurani yang ingin berkarya dan mengabdi kepada masyarakat dan uang sebanyak itu tentu bukan menjadi masalah bagi para pemilik uang yang naik dengan cara curang tersebut.
Pun kaum milenial jangan hanya melihat para calon dengan retorika dan permainan kata-kata saja namun harus kritis dengan penyampaian program yang langsung dan mudah diterapkan nantinya. Walaupun hal itu tidak mudah mengingat sangat dibutuhkannya komitmen kuat daripada calon dan sinergitas dengan masyarakat itu sendiri karena membangun Indonesia secara umum dan Humbang Hasundutan secara khusus bukan hanya karena kemampuan para calon yang terpilih nantinya.
Juga menjadi bagian dan tanggungjawab kita bersama yang sudah menjadi satu kesatuan dalam negara ini. Walau para pemimpinnya hebat kalau masyaraktnya tidak mau berkembang akan sulit menjawab tantangan masa ini dan yang akan datang terlebih dalam revolusi 4.0 yang sudah mulai kita jajaki dan bonus demografi yang sebentar lagi akan kita songsong bersama.
Tanggal 17 April semakin tidak terasa dan tentu banyak juga kaum milenial yang saat ini tidak berdomisili lagi di humbang hasundutan tercinta dengan berbagai kepentingan dan keperluan antara lain dan sedang melanjutkan pendidikan ataupun bekerja padahal namanya masih terdaftar dalam daftar pemilih tetap di daerah pemilihan di humbang hasundutan untuk segera mengurus layanan pindah pemilih untuk melindungi hak suara kita 30 hari sebelum tanggal 17 April 2019 di kantor komisi Pemilihan Umum atau posko-posko yang disediakan khusus untuk pedaftaran pindah pemilih didaerah tempat kita tinggal.
Dengan begitu tentu tidak ada alasan lagi untuk tidak memilih demi kebaikan kita bersama.
Kita berharap dan berdoa pemilihan umum pada tahun ini berjalan dengan lancar dan damai serta ada energi positif dengan hadirnya pemilih kaum milenials yang membawa pengaruh dan perbaikan pada pemilu tahun ini. Sehingga dengan kondisi seperti itu kita berharap akan semakin banyak masyarakat Humbang Hasundutan khususnya kaum milenial untuk tertarik dan ikut serta dalam pesta kita bersama pesta demokrasi untuk kegembiraan kita bersama.
Terakhir saya mengutip salah satu pantun sebagai penutup opini ini
Burung garuda terbang di angksa .
Yedija Manullang merupakan alumnus SMA N 1 Doloksanggul dan saat ini sedang melanjutkan pendidikan S1 di Universitas Bengkulu, Fakultas Pertanian. Pun saat ini aktif dalam organisasi internal kampus (KMK Unib) serta pendiri Komunitas Literasi KMK, Parsadaan Mahasiswa Humbang-Hasundutan (Parmahan) Bengkulu dan dipercayakan menjadi ketua Naposo Siraja Oloan Bengkulu. Tahun 2017-2018 dipercayakan menjadi BPC GMKI Bengkulu.