Dimana Solidaritas Mu Jurnalis

Oleh : Yunanto, Alumnus Sekolah Tinggi Publistik, Jakarta 


Soliditas, di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai keadaan (sifat) solid (kukuh, berbobot). Galibnya, soliditas adalah kondisi kukuh/kuat dalam satu rasa kesetiakawanan yang tinggi.

Soliditas dalam konotasi positif, pastilah positif pula wujudnya. Begitu pula halnya bila soliditas positif itu terjadi di kalangan jurnalis, atau antar jurnalis. Misal, bila ada seorang jurnalis "dicubit", maka jurnalis lain juga "merasa sakit". Sekali lagi, dalam konotasi positif.

"Belakangan ini, saya merasa ada disharmoni soliditas di kalangan jurnalis media online di Malang Raya. Saya merasakan hal itu setelah memonitor warta media online di beberapa grup WA. Aroma yang saya cium, bila ada jurnalis yang karya jurnalistiknya (berupa berita) disanggah/dibantah oleh pihak yang terkait dengan pemberitaan, beberapa jurnalis lain  malah beramai-ramai mewartakan sanggahan dimaksud.

Ironisnya, keroyokan sanggahan itu disertai narasi pihak yang menyanggah akan menempuh jalur hukum. Bahkan, akan melapor ke sana ke sini. Sedihnya, di publikasi keroyokan itu tanpa ada pernyataan (konfirmasi) dari pihak jurnalis yang terancam di jalur hukum kan.

Boleh dan sah saja keroyokan sanggahan semacam itu, asalkan diimbangi pernyataan (konfirmasi) dari jurnalis tersanggah dalam satu item news sanggahan.

Bila tidak demikian,  sangat kuat kesan bersuka cita atas derita jurnalis tersanggah.

Lantas, apa bedanya jurnalis pewarta keroyokan sanggahan dengan jurnalis tersanggah?!  Lebih hebat?!  Lebih profesional?!

Di mana solidaridas mu sebagai sesama jurbalis?, Di mana jiwa koesa mu sebagai sesama jurnalis?

Pertanyaan itu meletup-letup di benak saya. Meledak-ledak di dada saya. Sayang sekali, tidak terjawab. Hanya keprihatinan yang mengendap. Menyesakkan dada.

Sekali lagi, dalam konotasi positif, soliditas dalam satu profesi itu perlu. Di jagat publisistik praktika (jurnalistik), fakta memang menjadi "tuhannya" warta. Itulah sebabnya ada mekanisme. Hak Jawab dan Hak Koreksi (Pasal 11, Kode Etik Jurnalistik) manakala terjadi erosi atas "tuhannya" warta.

Saya tidak membela jurnalis tersanggah yang sedang dikeroyok para jurnalis penyanggah lewat publikasi sanggahan tanpa konfirmasi dari jurnalis tersanggah.

Saya juga tidak menyalahkan para jurnalis penyanggah yang asyik "mengeroyok",  tanpa memprediksi kemungkinan jurnalis yang "dikeroyok" ternyata punya alat bukti absah (Pasal 184, ayat 1, Hukum Acara Pidana).

Sekarang, saya hanya bertanya pada diri sendiri, Apakah saya masih bisa merasakan "sakit"  jika ada jurnalis "dicubit"?! Sayang saya kepada *semua* jurnalis di seluruh Indonesia. (**)
Lebih baru Lebih lama