MenaraToday.Com - Jakarta :
Berita buruk kembali datang dari parlemen. Sebagai wakil rakyat yang semestinya menjunjung tinggi kehormatan dan integritas, mereka justru menghabiskan diri sebagai juara korupsi. Adalah misal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menegaskan lagi bahwa parlemen berada di baris terdepan jajaran institusi paling korup.
Dalam laporan kerja periode 2014-2019 di forum rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR, kemarin, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang tanpa malu dan merasa Sungkan menyebut anggota dewan mendominasi jumlah para pelaku korupsi.
Pemaparan KPK itu pas dengan fakta yang ada. Realitasnya, anggota DPR maupun DPRD memang konsisten memimpin daftar peringkat terbanyak para koruptor. Peningkatan jumlah anggota dewan yang korupsi dari tahun ke tahun sejak 2015 hingga 2019 pun terbilang signifikan. Bahkan, pada 2018 angka itu terus melonjak lima kali lipat menjadi 103 orang dari tahun sebelumnya. Jika ditotal, hingga kini sudah 250 lebih wakil rakyat yang mengkhianati rakyat dengan menggasak uang rakyat.
Apa yang dibeberkan KPK di depan DPR sebenarnya barang lama. Persoalan besarnya, parlemen seperti tak menganggapnya sebagai aib yang harus segera diakhiri. Mereka justru memandangnya bak prestasi sehingga gelar juara korupsi terus dipertahankan hingga kini. Sebaliknya bagi kita, rakyat, predikat kampiun korupsi yang terus direngkuh parlemen amatlah memalukan, yang mesti secepatnya disudahi. Sudah amat lama rakyat berharap wakil mereka terkenal karena prestasi, bukan lantaran mengumbar sensasi apalagi melakukan korupsi.
Kendati begitu, harus diakui, tidak mudah untuk mengubah wajah buruk dewan. Perilaku korupsi yang merebak di parlemen ialah akibat komplikasi dari seabrek kegagalan dalam memberangus korupsi sejak di hulu hingga hilir.
Korupsi oleh anggota dewan tak lepas dari mahalnya biaya politik yang harus ditanggung. Oleh partai politik, misalnya, mereka dipaksa merogoh kocek dalam-dalam sebagai syarat pencalonan. Untuk memenangi persaingan di pemilu, mereka juga harus menguras tabungan.
Memperbaiki proses rekrutmen calon anggota parlemen oleh partai politik ialah keniscayaan agar mereka yang kemudian terpilih tak lagi perlu mencari uang haram. Politik tanpa mahar merupakan resep ampuh untuk membentengi anggota parlemen dari godaan korupsi karena mereka tak harus kejar setoran untuk mengembalikan modal.
Berkembang biaknya korupsi di parlemen juga tak lepas dari masaiah lemahnya penegakan hukum terhadap para koruptor. Berulang kali melalui forum ini kita mengingatkan untuk tidak pernah kompromi, tetapi faktanya mereka masih saja berbaik hati kepada pelaku korupsi. Bagaimana mungkin kita berharap ada efek jera jika tuntutan dan vonis bagi koruptor konsisten jauh dari maksimal? Bagaimana mungkin kita berharap anggota dewan takut berbuat korupsi jika koruptor terus dimanjakan, termasuk mendapatkan remisi setelah menghuni jeruji besi?/ bahkan dengan fasilitas yang serba mewah berada dalam lapas.
Aparatur pengelola negara ini memang sepakat bahwa korupsi ialah kejahatan luar biasa. Namun, harus kita katakan, penanganannya masih biasa saja. Koruptor terus diperlakukan sama, bahkan lebih istimewa, ketimbang pelaku kriminal lainnya.
Kita tak ingin wajah parlemen bopeng-bopeng karena tabiat korupsi para anggotanya yang tak kunjung henti. Oleh Karena itu, pembenahan secara politik oleh partai politik dan secara hukum oleh para penegak hukum mesti selekasnya dimaksimalkan secara simultan.
Pemaparan KPK bahwa parlemen selalu juara korupsi ialah realitas yang memalukan. Ia pelajaran bagi para wakil rakyat yang baru saja terpilih di pemilu untuk tak mengikuti jejak buruk para pendahulu mereka. Sudah terlalu lama wajah dewan dibiarkan kusam dan sudah saatnya diubah menjadi cerah dan berseri seri. (Red)