Steve Mara, Pemuda Papua Ini Serukan Perdamaian: Mari Bergandengan Tanpa Melihat Perbedaan


MenaraToday.Com - Surabaya :

Ungkapan bernada rasial yang disampaikan oknum tertentu kepada mahasiswa Papua di Surabaya telah menyebabkan eskalasi konflik hingga akhirnya menimbulkan banyak kerugian. Tidak hanya bagi masyarakat, namun juga terhadap NKRI.

Menyorot peristiwa yang menjadi perhatian publik saat ini, Steve Mara, mahasiswa studi S2 Universitas Pertahanan Negara asal Papua ini pun menyayangkan terjadinya tindakan rasial tersebut.

Sebagai manusia biasa, dia mengaku jika kalimat tersebut ditujukan kepada dirinya sebagai mahasiswa asal Papua, maka tentunya rasa ketersinggung itu tetap ada.

"Namun, saya akan gunakan ungkapan rasial itu untuk mendorong saya belajar lebih baik dan lebih banyak,” ujarnya, Jumat (23/8/2019).

Kejadian ini mengingatkannya akan kisah bangsa kulit hitam di Amerika yang dahulu menjadi jajahan bangsa kulit putih. Pada akhirnya mereka dapat bangkit, bahkan menjadi pemimpin, dengan terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat.

“Saya sebagai pemuda yang berasal dari Papua, mengajak mahasiswa Papua untuk tetap belajar dan menjaga prestasi kita. Kita pemuda papua merupakan pemuda hebat dan diakui di dunia. Jika karena masalah rasis kemudian membuat semangat kita turun, maka Papua yang kita sayangi akan dikuasai orang lain,” katanya.

Steve yang akrab disapa Dai Mara merupakan mahasiswa berprestasi. Dia meraih empat penghargaan lomba menulis dari berbagai event yang diikutinya. Penghargaan pertama yang diraihnya yakni piagam penghargaan dari Dewan Guru Besar Universitas Gajah Mada sebagai pemenang artikel dengan Judul ‘Nasionalisme dan Etnonasionalisme di Papua, Ideologi Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa’.

Artikel tersebut berhasil menjadi juara kategori ideologi setelah dipresentasikan di UGM pada Hari Sumpah Pemuda 2018. Secara garis besar, tulisan tersebut menjelaskan tentang letak pertumbuhan nasionalisme kedaerahan di beberapa daerah di Indonesia dan visi etnik yang digunakan kelompok tertentu untuk memandang kelompok lain sehingga menimbulkan pransangka antara In group dan out group.

Penghargaan kedua yang diraih yakni piagam penghargaan lomba menulis Forum Koordinasi Mahasiswa Sains Universitas Gajah Mada dengan Judul ‘Optimalisasi Generasi Y Dalam Sistem Pertahanan Negara’.

Dalam tulisan tersebut, Steve meraih juara kedua dari 900 peserta. Sementara penghargaan ketiga diraih pemuda ini saat mengikuti lomba menulis di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Karyanya berjudul ‘Optimalisasi Wajib Pajak Dalam Memperkuat Sistem Pertahanan Negara’ berhasil meraih penghargaan.

Dan penghargaan keempat yang diraihnya yakni saat mengikuti lomba menulis Gema Anti Narkoba 2018 yang diselenggarakan Kesbangpol  DKI Jakarta. Lomba tersebut diikuti 300 peserta dan Steve keluar sebagai juara ke-2. Karya tulisannya yakni ‘Kalibrasi Sistem Pertahanan RI bagi Generasi Y Dalam Menghadapi Ancaman Narkoba’.

Menurut Steve, menulis bukanlah sebuah hal yang mudah. Namun jika menulis sudah dijadikan sebagai hobi atau kegemaran, maka apapun yang dilakukan akan terasa mudah dan menyenangkan.

Steve berharap pemuda Papua tetap menjadi poros prestasi dan terus berkarya untuk masa depan lebih baik. Menurutnya, pemuda saat ini bukan hanya tulang punggung masa depan, tetapi napas masa depan negara.

Sebagai pemuda Papua yang sangat peduli dengan persatuan dan kesatuan, dia mengajak kepada seluruh masyarakat Indonesia khususnya di Papua, untuk tetap menjaga kedamaian. Karena damai merupakan hal yang sangat mahal.

Selanjutnya Steve Mara mengimbau kepada seluruh generasi nusantara dari Sabang sampai Merauke agar jangan memandang perbedaan dengan egoisme kelompok yang tercerai berai. Tetapi memaknai perbedaan itu sebagai suatu karunia Tuhan dan kekuatan yang tak tertandingi.

"Mari buang jauh-jauh solidaritas sempit yang tersekat-sekat oleh bungkusan Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA). Tapi bangunlah solidaritas Nasional yang kokoh dan tangguh. Karena NKRI didirikan bukan atas dasar komponen SARA, NKRI terbentuk atas dasar kebinekaan dalam semangat persatuan yang Tunggal (Bhineka Tunggal Ika)," ucapnya.

"Indonesia harusnya sudah tinggal landas menyongsong persaingan dunia dalam era gelobalisasi yang sangat pesat, mengapa kita harus mundur sekian abad ke belakang? saling bertikai hanya karena mempersoalkan warna kulit, ras, agama, suku bangsa dan perbedaan yang lainnya?," katanya penuh tanya.

Menurutnya, tidak ada seorang pun yang dapat meminta untuk dilahirkan sebagai suku apa. Dan sebagai bangsa yang religius dan percaya adanya Tuhan dalam keyakinan agama apapun yang dipeluknya, dia berharap agar semua menyadari fundamental tersebut.

"Saya jadi orang Papua karena lahir dari rahim Ibu Papua. Demikian pula yang lahir sebagai orang Jawa, Sunda, Bugis, Makssar, Batak, Dayak, Ambon, Manado dan lain-lainnya. Semuanya karena kehendak Tuhan, bukan kehendak manusia, " kata Steve.

Sebagai putra Papua, dia menilai siapapun yang menolak perbedaan, maka dia telah menolak kehendak Tuhan. Artinya mereka tidak berketuhanan. Yang Maha Kuasa menciptakan manusia berbeda-beda bukan untuk saling bertikai, tetapi saling mengenal dan hidup berdampingam satu sama lain.

“Tuhan yang maha adil juga tidak menciptakan satu golongan manusia lebih mulia dari golongan yang lain. Tetapi menghendaki agar kita semua saling memuliakan antara satu dengan yang lainnya bukan saling menghinakan,” ucapnya.

Steve menegaskan, NKRI butuh sosok pemuda-pemudi yang potensial dan berkualitas untuk membangun negeri guna menyongsong masa depan yang lebih cemerlang.

“Mari rapatkan barisan dan saling bergandengan tangan tanpa melihat perbedaan. Kita bersatu karena kita berbeda, kita berbeda hanya untuk bersatu. Dirgahayu ke-74 NKRI, Indonesia tetap Jaya," tuturnya. (Eff/Rls)
Lebih baru Lebih lama