Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang Diinisiasi Oleh Pemerintah Mengalami Penurunan



MenaraToday.Com - Jakarta :

Sebelum memperhitungkan bantuan Pemerintah baik dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) maupun belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), besaran defisit JKN masing-masing Rp1,9 triliun (2014), Rp9,4 triliun (2015), Rp6,7 triliun (2016), Rp13,8 triliun (2017), dan Rp19,4 triliun (2018).

Defisit yang dialami oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terjadi karena ketimpangan rasio antara total iuran dan total klaim yang dilakukan oleh peserta mandiri.

Sepanjang tahun 2018, total iuran dari peserta mandiri adalah Rp8,9 T, namun total klaimnya mencapai Rp27,9 T. Dengan kata lain, rasio klaim dari peserta mandiri mencapai 313 persen.

Disamping ketimpangan rasio tersebut, banyak peserta mandiri yang tidak disiplin membayar iuran. Pada akhir tahun anggaran 2018, tingkat keaktifan peserta mandiri hanya sebesar 53,7 persen. Artinya, sisa peserta mandiri tersebut menunggak pembayaran iuran BPJS. Besar tunggakan peserta mandiri mencapai sekitar Rp15 T sejak tahun 2016 s.d. 2018.

Sudah sewajarnya asuransi sosial dengan prinsip gotong royong dijalankan dengan yang mampu membayar iuran lebih besar dari yang kurang mampu, yang sehat tetap patuh membayar iuran agar membantu yang sakit.

Dengan demikian, langkah yang dapat dilakukan demi menjaga keberlangsungan pogram JKN yang manfaatnya telah dirasakan oleh sebagian besar penduduk Indonesia ini, yaitu dengan memastikan kedisiplinan membayar iuran bagi peserta mandiri.

Peserta mandiri yang telah mendaftar dan menikmati layanan kesehatan yang mahal tidak boleh berhenti membayar iuran.

Kepesertaan dan kedisiplinan membayar iuran ini sebenarnya telah diatur dalam PP Nomor 86 tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggaran Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial.

Selain itu, perlu dilakukan penyesuaian jumlah iuran bagi masing-masing kelompok peserta. Sebab, tanpa dilakukan kenaikan iuran, defisit JKN diproyeksikan akan mencapai Rp32 T di tahun 2019, dan meningkat menjadi Rp44 T pada tahun 2020. Tentunya, kenaikan iuran dipastikan tidak mempengaruhi penduduk miskin dan tidak mampu.

Kenaikan iuran diusulkan sebesar 100% bagi peserta Kelas 1 dan Kelas 2. Untuk Kelas 3, usulan kenaikannya adalah sebesar 65% atau menjadi Rp42.000 dari semula Rp25.500. Padahal, seharusnya dengan rasio klaim peserta mandiri yang mencapai 313%, kenaikan iuran seharusnya lebih dari 300%.

Namun dengan mempertimbangkan tiga hal: kemampuan bayar peserta, upaya memperbaiki keseluruhan sistem JKN sehingga terjadi efisiensi, serta gotong royong dengan peserta dari segmen lain, usulan kenaikan menjadi sesuai dengan skema di atas. Pemerintah memperhitungkan agar masyarakat tidak terlalu terbebani dengan kenaikan iuran BPJS nantinya.(efrizal/tim)
Lebih baru Lebih lama