Sentimen Rasialist Tidak Punya "Power" Untuk Melahirkan Negara Baru


MenaraToday.Com - Jakarta :

Rasialisme adalah musuh global, musuh semua umat manusia. Sentimen rasialis yang dialami mahasiswa Papua akan mengundang perhatian pihak asing. 


Tapi perlu dicatat bahwa dalam sejarah pembentukan negara bangsa, sentimen rasialis tidak memiliki " power " untuk melahirkan negara baru. 

Jadi jangan berharap sentimen rasialisme yang dialami mahasiswa Papua akan menjamin kuatnya dukungan politik Internasional terhadap agenda politik Papua merdeka yang membonceng isu rasisme. Sentimen rasialis yang dialami etnik minoritas atau etnik kulit berwarna dlm suatu negara, hanya akan melahirkan suatu tatanan politik baru atau suatu konsensus politik ketatanegaraan baru untuk menyerpurnaan proses nation building negara bangsa tersebut. 

Contoh misalnya sentimen rasialis terhadap kaum kulit hitam Amerika Serikat yang mengakibatkan terbunuhnya tokoh kulit hitam AS, Marthin Luther King. Pemerintah Paman Sam kemudian mengeluarkan undang - undang hak - hak sipil yang menjamin kesetarahan hidup semua warga negara tanpa perbedaan ras dan etnik di AS tahun 1967. Orang kulit hitam AS tetap warga negara dan tidak memiliki negara sendiri. 

Demikian pula Nelson Mandela di Afrika Selatan yang memimpin rakyatnya melawan sentimen rasialis dalam bentuk kebijakan politik Apartheid oleh kaum kulit hitam Afrika Selatan selama puluhan tahun. 

Kaum kulit hitam Afrika Selatan tidak membentuk negara baru, tapi membentuk konsensus nasional bersama kaum kulit putih untuk membangun tatanan politik negara Afrika Selatan yang baru di tahun 1994. 

Sentimen rasialis hingga berujung kekerasan rasialis juga terjadi di Selandia Baru. Kaum pribumi Maori mengalami tekanan dan diskriminasi rasialis yang luar biasa dari kaum kulit putih Inggris dan Amerika Serikat. 

Suku Maori tidak bisa mengalahkan kaum kulit putih dan mengusirnya, demikian juga kaum kulit putih tidak bisa mengalahkan suku Maori. Akibatnya mereka berdamai dan membentuk tatanan politik kenegaraan yang baru yang diberi nama New "Zea"land pada tanggal 7 Mei 1856. 

Cerita yang sama juga terjadi di negara Fiji dimana rasialisme dipraktek oleh kaum pendatang Hindia bersama Inggris terhadap penduduk anak pribumi. 

Tapi penduduk anak pribumi Fiji beretnis polinesia dan melanesia, dlm perlawanannya terhadap sentimen rasialis tdk mampu mengusir etnik Hindia bersama Inggris dan mendirikan negara sendiri. 

Mereka sepakat membentuk konsensus politik baru negara Fiji.

Dari fakta historis ini, orang Papua sudah harus bercermin bahwa konflik rasisme tidak memiliki kekuatan politik yang signifikan untuk menciptakan sebuah negara baru. 

Konflik rasialis yang meluas di Papua saat ini, hanya didesign untuk menciptakan persoalan keamanan dan ketidakstabilan politik di Papua. 

Kalaupun akan digiring pihak asing untuk menjadi agenda politik, itu untuk tujuan kepentingan ekonomi dan politik mereka di Indonesia, bukan untuk kepentingan orang Papua. Pihak asing seperti Inggris dan Amerika Serikat yang menjadi sponsor utama ULMWP, ternyata memiliki persoalan rasialisme yang mengakar dan meluas dlm hati dan pikiran elit politik dan pejabat publik negara mereka. 

Sehebat apapun orang kulit hitam seperti Barack Obama, tetap saja praktek - praktek rasialis yang menghina dan merendahkan orang - orang kulit hitam di AS dan Inggris masih terus terjadi dlm segala segmen dan strata sosial masyarakat mereka.

Rasialisme itu penyakit peradaban manusia dan hidup berdampingan dgn manusia. 

Sesama orang kulit hitam atau orang kulit berwarna juga, praktek rasialis sering terjadi. Solusinya adalah berdamai dgn Tuhan sang pencipta ras kita, dan berdamai dgn diri sendiri agar kita bisa terimah takdir kita sendiri dan kemudian bisa dgn hati lapang menerima takdir perbedaan masing - masing ras manusia. (efrizal/tim)
Lebih baru Lebih lama