MenaraToday.Com - Malang :
Pemilihan Walikota Malang 2018 kemarin adalah hasil dari sebuah proses politik demokrasi borjuasi atau liberalisasi politik yang overdosis.
Pertarungan politik borjuasi pemilihan walikota adalah pertarungan modal, kekuasaan dan kriminal, dimana ada Calon Walikota berstyle dhuafa versus Calon Walikota berstyle bermodal tapi semuanya terlibat kriminal, siapapun pemenangnya tetap akan menghasilkan sebuah citra rezim yang membusuk pelan-pelan.
Pertarungan perebutan kursi walikota kemarin melalui liberalisasi politik itu sendiri, semuanya tidak memiliki basis sosial, kultural dan apalagi konsitusional.
Kalau mau jujur hampir semua produk perundangan walikota sampai hari ini dipandang dari perspektif publik banyak yang menganggap berbau statis dan mendemokrasikan kekuasaan negara yang hegomonik.
Rakyat dibuat untuk tidak boleh tahu tentang pembuatan regulasi-regulasi tetapi setelah disahkan kepada publik justru bersifat kontra produktif dengan kehendak rakyat yg sebenarnya.
Padahal dalam wacana politik liberal, negara tidak sepatutnya memasuki wilayah pribadi warga negara seperti yang terjadi akhir-akhir ini dalam sebuah surat edaran yang dikeluarkan oleh Sang Raden Kanjengmas Tumenggung Mbaurekso Sutiaji dalam hal bulan puasa.
Sang Kanjeng Radenmas walikota justru memandang hubungan antar negara dan masyarakat harus dikooptasi dengan ketat agar hak-hak warga negara bisa dikontrol semisal protes berlebihan perihal jalan berlubang, malfungsi birokrasi dan lain-lain. Ditambah hegemoni kekuasaan rezim lokal ditopang oleh para abdi dalem (para abdi dalem yang sekedar mencari muka) demi safety jabatan serta para pengabdi dari luar yang juga demi menjaga safety ekonomi recehan, dibandingkan memberikan kontribusi positif seperti data dan fakta yang sebenarnya tentang persoalan rakyat sebagai masukan sang diktator rezim lokal ini.
Namun pada sisi lain yang lebih empirik sifatnya, apakah kita memiliki yang cukup panjang dan kuat mengadopsi nilai-nilai politik liberal seperti itu? Dalam sejarah, negara dan aparatnya senantiasa diposisikan sebagai "Gusti", sementara masyarakat hanya sekedar sebagai "Kawula".
Sampai sekarang, Norma Feudal Politics yang mematron pejabat negara dan segala macam yang berbau negara, terasa masih kental. Persaingan untuk memperoleh jabatan publik tetap menjadi warna dominan dalam power relations di Republik ini.
Kalau pun tidak dapat menduduki jabatan strategis di pemerintahan, tidak sedikit orang bersaing untuk mendapatkan posisi di lembaga milik negara ataupun seandainya ini pun tidak dapat diraih langsung. Jadi broker politik dan broker Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) serta Badan-badan usaha daerah yang lainnya dan untuk sementara kalangan masih dipandang jauh lebih menguntungkan ketimbang tidak mendapatkan posisi apa-apa. Soalnya, dari relasi kekuasaan seperti itulah, berbagai "benefits" akan diperoleh.
(Oleh Safril M Caping).(Yasin)