MenaraToday.Com - Toba :
Usulan untuk mengkaji ulang Surat Keputusan ( SK ) Gubernur Sumatera Utara Tahun 2017 tentang Daya Dukung dan Daya Tampung Danau Toba mengemuka dari sejumlah pihak termasuk para petani Keramba Jaring Apung yang ada di Kawasan Danau Toba
Hal itu mengemuka dari sejumlah peserta saat majalah TROBOS Aqua mengadakan Aquabinar series ke-12 (sminar daring ) dengan mengusung tema “Perimbangan Aspek Lingkungan, Sosial dan Ekonomi Budidaya Perikanan Danau Toba, Kamis (8/7/2021 ) yang lalu
Seminar daring tersebut menghadirkan narasumber yaitu, Mohamad Rahmat Mulianda, S.Pi., M.Mar, Asisten Deputi Pengembangan Perikanan Budidaya pada Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi; Tinggal Hermawan, S.Pi, M.Si, Direktur Kawasan dan Kesehatan Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan ( KKP ) dr. Tengku Amri Fadli, M.Kes, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara ( Sumut ) serta Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus dari Universitas Sumatera Utara.
Dalam acara tersebut, mengemuka sejumlah rekomendasi terkait pengelolaan dan pemanfaatan Danau Toba yang berkelanjutan. Rekomendasi tersebut yakni, Diperlukan penelitian dan kajian yang komprehensif untuk menentukan daya tampung dan daya dukung Danau Toba untuk budidaya perikanan," Ujar Pandu Meilaka dalam keterangan tertulisnya, ( Rabu (14/07/2021 )
Selain itu, dalam Seminar daring tersebut juga mengusulkan agar Surat Keputusan ( SK ) Gubernur Sumatera Utara tentang Daya Dukung Dan Daya Tampung Danau Toba dan Status Trofik Danau Toba di kaji ulang serta Ditetapkannya zonasi terbaru budidaya perikanan di Kawasan Danau Toba. Kemudian diperlukan pembinaan pembudidaya ikan masyarakat untuk berbudidaya yang ramah lingkungan agar bisa hidup berdampingan dengan pariwisata sehingga Budidaya perikanan yang dapat bersinergi dengan Pariwisata.
Dengan luas sekitar 1.130 km², panjang 100 km serta lebar 30 km dan kedalaman sampai 505 meter, Danau Toba dinobatkan danau terbesar di Kawasan Asia Tenggara. Beragam kegiatan perekonomian pun berkembang di wilayah perairan dan daratan sekitar Danau Toba. Mulai dari usaha transportasi air, pertanian, peternakan, budidaya perikanan, industri, sampai pariwisata. Danau Toba bukan saja sebagai objek keindahan alam tapi juga sudah membawa kesejahteraan bagi masyarakat sekitar.
Tak terkecuali usaha budidaya perikanan Keramba Jaring Apung (KJA) yang diperkenalkan oleh pemerintah pusat pada tahun 1986 melalui program Operasi Khusus Maduma Sejahtera yang dipimpin Solihin GP sebagai Sekretaris Pengendalian Pembangunan. Tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Danau Toba yang waktu itu masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan," Sebutnya
Peran Budidaya Perikanan
Usaha KJA terus berkembang hingga saat ini. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 menunjukkan produksi ikan nila di Danau Toba sebesar 80.941 ton dengan rata-rata produksi 62.000 ton per tahunnya, belum termasuk jenis ikan lainnya yang dibudidayakan. Kontribusi sektor perikanan terhadap produk domestik regional bruto 21 % sedangkan sektor pariwisata baru 2 %. Pada tahun 2020, usaha budidaya ikan di Danau Toba memiliki nilai ekonomi sekitar Rp 3,5 triliun (benih, pakan, hasil produksi ikan). Nilai tersebut belum termasuk nilai ekonomi dari ekspor dan kegiatan pendukung budidaya perikanan.
Ikan nila atau tilapia merupakan salah satu komoditas penyumbang ekspor yang cukup besar secara nasional (USD 78.473 pada tahun 2020 atau sebesar 12.288 ton). Produksi ikan nila dari Danau Toba merupakan salah satu yang terbesar di dunia.
Dari data GPMT (Gabungan Perusahaan Pakan Ternak) Sumut 2020, usaha KJA di Danau Toba menyerap tenaga kerja lebih dari 12.300 orang. Tenaga kerja yang terlibat mulai dari sektor hulu hingga hilir, seperti pabrik pakan, hatchery, pembesaran, industri pengolahan ikan nila, pabrik es, cold storage, dan packaging. Jumlah tersebut tidak termasuk tenaga kerja di rumah makan, hotel, logistik dan distribusi, serta jasa terkait lainnya.
Tak heran jika kehadiran KJA di Danau Toba mampu memberikan multiplier effects ekonomi yang cukup besar, yang dapat mengurangi ketimpangan sosial ekonomi antar wilayah dan antar kelompok. Belum lagi efek positif terhadap peningkatan ketahanan pangan dan status gizi masyarakat, karena ikan merupakan sumber protein yang baik.
Dalam pemaparannya Mohamad Rahmat Mulianda, Asisten Deputi Pengembangan Perikanan Budidaya pada Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mengungkapkan, peran produksi perikanan khususnya ikan nila dari Danau Toba secara regional maupun nasional cukup signifikan. “Dari data KKP 2018 menunjukkan 70 % produksi nila Sumatera Utara berasal dari Danau Toba, sementara 5 % produksi nila nasional berasal dari Sumut,” kata Rahmat.
Legalitas Kebijakan
Keberadaan usaha KJA sudah jelas memberikan kesejahteraan bagi masyarakat yang terlibat dan menjadi usaha penopang perekonomian yang bertahan bahkan saat masa pandemi. Keberadaan KJA dilindungi oleh payung hukum yang tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 81 Tahun 2014.
Belakangan, produksi KJA di Danau Toba yang tadinya 81 ribu ton per tahun dibatasi hanya menjadi 10 ribu ton per tahun berdasarkan SK Gubernur Nomor 188.44/213/Tahun 2017. Dasar penentuan daya dukung 10 ribu ton per tahun adalah target untuk mencapai status trofik (kondisi kualitas air berdasarkan unsur hara dan biomassa) oligotrofik yang dituangkan dalam SK Gubernur Nomor 188.44/209/Tahun 2017.
Diungkapkan oleh dr. Tengku Amri Fadli, M.Kes, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumut, bahwa SK Gubernur tersebut perlu ada evaluasi 5 tahun sekali yang jatuh pada tahun 2022 terkait kajian terbaru daya dukung dan status trofik Danau Toba.
"Kajian ini diperlukan sebagai dasar untuk mengevaluasi dan merevisi SK Gubernur yang ada. “Artinya mulai tahun 2021 perlu diinisiasi bersama semua instansi terkait untuk membuat kajian kolaborasi dan komprehensif tentang daya dukung Danau Toba,” ujar Tengku.
Sementara diungkapkan Prof Ternala, status trofik Danau Toba saat ini adalah mesotrofik.
“Untuk mencapai status oligotrofik sesuai dengan SK Gubernur tersebut sangat sulit, hal ini karena proses eutrofikasi akan berlangsung sesuai dengan proses penuaan danau, baik secara alami maupun akibat meningkatnya nutrient yang masuk ke danau yang bersumber dari berbagai aktivitas masyarakat dalam memanfaatkan danau Toba,” ungkap Prof Ternala.
Terkait dengan upaya penataan KJA Danau Toba, Kasubdit Penataan Kawasan dan Kesehatan Lingkungan Direktorat Jenderal Perikananan Budidaya KKP Iman Indrawarman Barizi yang mewakili Tinggal Hermawan, S.Pi, M.Si, Direktur Kawasan dan Kesehatan Ikan, KKP mengungkapkan, perlu adanya indentifikasi kelayakan usaha budidaya perikanan di darat.
“Hal ini karena sumber daya alam daratan di danau Toba tidak semua cocok untuk kegiatan usaha budidaya,” kata Iman.
Daya Dukung
Jumlah daya dukung perikanan Danau Toba masih tarik ulur di kalangan peneliti. Berdasarkan hasil riset dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Tahun 2018, Danau Toba memiliki kapasitas daya dukung sebesar 45.000-65.000 ton per tahun. Ada pula penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Tahun 2011 yang menyebutkan daya dukung sebesar 35 ribu ton per tahun. Sementara, kajian dari Universitas Rhode Island pada Tahun 2016 menyebutkan daya dukung sebesar 55 ribu ton ikan per tahun.
Menurut Prof Ternala, melihat hasil penelitian yang beragam tersebut, perlu dikaji ulang penentuan kapasitas daya tampung perikanan Danau Toba melalui sebuah penelitian yang komprehensif dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan di kawasan Danau Toba.
“Penelitian tersebut tidak hanya dari aspek lingkungan, tapi juga harus ada kajian dari aspek sosial dan ekonomi,” ujar Prof Ternala.
Kajian kolaborasi ini juga diamini Tengku, yang menyatakan bahwa semua pihak harus duduk bersama membahas hal ini untuk membuat sebuah kajian yang komprehensif dan berdasarkan ilmu pengetahuan (scientific-based).
Hal senada juga diungkapkan Rahmat, bahwa perlu ada kajian terbaru untuk mendukung kebijakan pengelolaan perairan Danau Toba jangka panjang.
“Kedepan kegiatan pariwisata yang didorong pemerintah dengan penetapan Danau Toba sebagai Destinasi Pariwisata Super Prioritas seyogyanya dapat bersinergi dengan kegiatan budidaya perikanan,” kata Rahmat.
Dukungan terkait kajian kolaborasi juga dikemukakan oleh Iman.
“Kontribusi dari KKP terkait kajian terbaru dapat berupa pendampingan program kajian daya dukung Danau Toba,” kata Iman.
Aspek Lingkungan
Data GPMT Sumut 2020 menunjukkan, luas total KJA di Danau Toba sekitar 46,5 Ha atau hanya sekitar 0,04 % dari total luas wilayah perairan Danau Toba. Dari luasan tersebut terdiri dari 30 Ha KJA masyarakat dan 16,5 Ha KJA perusahaan.
Sementara kegiatan yang mempengaruhi kualitas air Danau Toba antara lain limbah hotel restoran kafe, dan rumah tangga; limbah sisa pakan dan kotoran budidaya perikanan di KJA; limbah dari aktivitas peternakan, pertanian, dan kehutanan; limbah dari beberapa pabrik sekitar danau; serta limbah dari kapal angkutan transportasi danau.
Para pelaku usaha KJA juga sudah kian sadar menjaga lingkungan perairan Danau Toba sudah menjadi keharusan. Bukan saja untuk kepentingan pelestarian alam sebagai destinasi wisata, tapi juga dengan kualitas perairan yang tercemar dapat berdampak langsung pada kelangsungan usaha KJA itu sendiri.
Salah satu upaya yang dilakukan yaitu menerapkan Cara Budidaya Ikan yang Baik sesuai dengan aturan pemerintah, diantaranya adalah menggunakan pakan ikan ramah lingkungan. Kriteria pakan tersebut antara lain jenis pakan apung, kadar Phospor rendah, kandungan nutrisi pakan dapat dengan mudah tercerna/efisien oleh ikan sehingga menekan angka FCR (konversi pakan), cara pemberian pakan yang terukur dan ramah lingkungan, serta menggunakan bahan baku berkualitas dan konsisten. (K712)